Skip to main content

Hujan

Seperti kemarin, sore ini Setiabudhi kembali diguyur hujan.

Jujur, saya nggak terlalu suka hujan. Alasannya sederhana, karena hujan selalu membuat saya galau. Hujan membuat sepatu saya basah. Kalau sepatunya basah, saya susah ngampus karena saya nggak mungkin ke kampus dengan memakai sandal jepit. Sebagai mahasiswa yang koleksi sepatunya bisa dihitung menggunakan jari, jelas saya punya alasan kuat untuk tidak menyukai hujan.

Hujan membuat saya rindu kehangatan. Kalau sudah begitu, saya biasanya galau. Saya mencoba menyelimuti diri dengan selimut, tapi ternyata selimutnya sedingin suhu kamar. Mencoba menghangatkan diri dari sebuah pelukan, tapi yang bisa dipeluk cuma bantal... dan kamus. 

Akan tetapi, setidaknya saya harus merasa beruntung karena hujan tidak melulu membasahi Setiabudhi. Itu yang saya pikirkan setelah saya menonton sebuah animasi pendek berjudul Rain Town.

Rain Town adalah animasi pendek berdurasi sembilan menit 55 detik buatan Universitas Kyoto Seika, Jepang. Diberi judul Rain Town karena animasi ini menceritakan kehidupan seorang gadis kecil yang tinggal di kota; dan apesnya, kota itu selalu diguyur hujan yang tak pernah berkesudahan. 

Saya nggak bisa membayangkan, bagaimana kalau gadis itu adalah saya. Mungkin saya akan mengeluh setiap hari, menyimpan semua sepatu sneaker dan wedges di gudang lalu menggantinya dengan sepatu bot berbahan plastik tebal.

Saya juga nggak bisa membayangkan, bagaimana kalau Rain Town ada di Jakarta. Dalam waktu sekejap, Jakarta pasti jadi kota air. Pasar-pasar tradisional akan berubah jadi pasar apung. Para selebritas akan menjadi model koleksi jas hujan dan bot dari perancang kenamaan. Jasa laundry akan laris manis. Dan bisa jadi, penggambar komik yang kreatif akan membuat komik seri dengan cerita dramatik berjudul Jakarta Tenggelam, dan sukses mengalahkan kepopuleran komik Jepang Tenggelam...



Sudah dulu ah, saya mau mencari kehangatan. Makan bakso enak kali, ya?

Comments