Di sisi kiri cermin berdebu, di depan kipas angin yang mulai
kurang mutu, tiba-tiba sebuah pertanyaan meluncur begitu saja dari bibir
penuhmu.
“Mbak, mbak itu agamanya apa, sih?”
Sesungguhnya, pertanyaan itu terasa sungguh mengganggu.
Setidaknya, menurutku begitu.
Kutatap wajahmu lekat-lekat, mencari kesempatan sambil berharap agar kau tahu jawabannya tanpa perlu ku buka suara. Namun tampaknya kau tak tahu, jadi kujawab saja pertanyaanmu dalam lima huruf tanpa spasi, "Islam."
"Tapi, kok mbak nggak berjilbab?"
Lagi-lagi, ini mengusikku. Lagi-lagi kutatap wajahmu. Lagi-lagi kau memasang wajah tak tahu.
"Kamu sendiri, kenapa nggak berjilbab?" balasku, jadi ikut usil bertanya. Kau kibaskan rambut panjangmu sebelum menjawab.
"Belum terbiasa, mbak," ujarmu. Aku pun berkata bahwa aku sama sepertimu.
"Terus, kapan mbak mau berjilbab?"
Sebuah 'kapan-kapan' bukanlah sebuah jawaban yang membantu, jadi kubiarkan saja diriku membisu.
Ya, ya. Kapan ya aku berjilbab?
*
"Mbak, mbak... Ditanya kok malah diem aja? Mbak?"
Comments
Post a Comment