Setiap baca buku Yang Galau Yang Meracau!, saya nggak akan pernah bosan membaca bagian ini. Kisah seorang perempuan yang berdoa.
“Tuhan, aku tahu kecantikan bukanlah tentang apa yang orang-orang lihat dari diriku, tetapi tentang kebaikan yang mereka rasakan dari sikap-hidupku, maka buatlah mereka selalu merasa bahagia atas kehadiranku dan merindukan saat-saat kepergianku. Getar rasa dalam dada, getar cinta dalam kata, maka biarlah hanya cinta yang terucap dari bibirku... Lalu bila mereka bahagia mendengar kisah-kisahku, dan bila kisah itu melapangkan hidup mereka da meringankan bebannya, sesungguhnya aku hanya perempuan biasa yang ingin berbagi kebaikan.
Tuhan, aku tak ingin meminta agar Kau menambahkan rejeki kepadaku karena aku ingin membeli sejumlah barang-barang mewah untuk mempercantik diriku. Sungguh. Tetapi jika Kau tak keberatan, percikkanlah cahaya-Mu agar kebaikan selalu terpancar dari diriku untuk membahagiakan orang-orang di sekelilingku. Sisanya, bila mereka merasa bahagia akan kehadiranku dalam hidup mereka, lalu mereka ingin memberiku sejumlah hadiah, aku pikir Kau tak akan begitu keberatan untuk mengabulkannya, kan?
Kaulah kecintaanku, Tuhanku, sumber kebahagiaan hidupku, lalu mengapa aku harus mendatangi-Mu dengan perasaan yang sedih? Sungguh, kini aku mengherani diriku sendiri mengapa selama ini aku justru mendatangi-Mu di saat-saat sedih dalam hidupku? Maka, terimalah doaku, Tuhan, betapa aku mencintai-Mu dalam kebahagiaan yang tak sanggup ditampung gerakan apapun dalam tarianku! Terimalah keseluruhan diriku, inilah aku yang bahagia menjadi bagian mahakecil dari keseluruhan diri-Mu!
Tuhan, aku bukanlah perempuan yang baik, tetapi bila ada satu-dua kebaikan yang pernah aku kerjakan, dan jika itu memang pantas diberi pahala, ambillah pahalaku! Jika boleh, aku ingin menukarnya dengan kebahagiaan lain untuk kedua orang tuaku, keluargaku, dan orang-orang yang selama ini menyayangi maupun membenciku. Sayangilah mereka, bahagiakanlah mereka. Tak perlu lagi Kau memberiku apapun dan aku memang tak ingin meminta apapun untuk hidupku sendiri, cukuplah bagiku mencintai-Mu tanpa keinginan-keinginan yang merantai ketulusanku dalam mencintai-Mu. Sisanya, bila Kau memang memaksaku dalam ruang-ruang permohonan yang ingin Kau kabulkan; bahagiakanlah orang tua dan keluargaku, orang-orang yang menyayangi dan membenciku.
Tuhan, aku menyayangi adik-adikku, kakak-kakakku, keluargaku. Aku juga tahu betapa mereka mencintai dan menyayangiku. Sia-sia hidupku jika tak pernah sanggup membahagiakan mereka, Tuhanku. Maka tumbuhkanlah dari diriku sayap-sayap kebaikan yang bisa membantu mereka menerbangkan doa-doa dan harapannya kepada-Mu. Kabulkanlah doa-doa mereka. Ini bukan tentang menjadi seseorang, ini soal menjadi bagian dari rencana indah-Mu tentang hidup yang menghidupi dan hidup yang menghidupkan!
Tuhan, aku tak ingin menjadi seseorang yang sia-sia menjalani dunia. Maka bila keluasan akal dan kemanfaatan tindakanku bisa menjadi sumbangan kecil bagi kebaikan semesta, sesungguhnya aku hanya meminta bantuan-Mu agar aku mampu menjadi wakil-Mu di dunia. Ini bukan tentang diriku, ini tentang tugas berat dari-Mu untuk menjadi kasih-bagi-semesta.
Tuhan, itulah doaku bagi semesta. Tentang diriku, cukuplah aku mencintai-Mu dan Kau mencintaiku. Bila berkenan dan Kau punya waktu, biarlah kelak kita akan bertemu. Aku sangat ingin menuntaskan rasa cinta dan rinduku pada-Mu dalam pertemuan itu. Bila ternyata Kau juga ingin, maka akulah perempuan yang paling bahagia itu!”
Fahd Djibran, Yang Galau Yang Meracau, 2011: 49 – 56.
Comments
Post a Comment