Skip to main content

Perjuangan

Tadaima, saya kembali. Haaa, capeknya setelah berjuang mencari oksigen di Damri jurusan Ledeng-Leuwi Panjang siang ini.


Perjuangan
Pagi ini, sekitar pukul 9.00 WIB saya berangkat dari Cikarang menuju Bandung. Perjalanan lumayan lancar, walau saya harus berjuang mencari oksigen dalam bis Primajasa akibat banyaknya penumpang yang merokok tanpa tahu lokasi. Saya udah ngasih kode, padahal. Dari goyang uget-uget, batuk-batuk kecil, sampai menutupi seluruh kepala dengan hoodie yang saya pakai (untungnya saya pakai hoodie alien panda yang jadi favorite hoodie). Tapi tetep ajaaa, mereka malah jebal-jebul, nggak ngerti kode. Mau negur sih, sebenernya. Tapi sayanya lagi males ngomong gara-gara udah keburu pusing kena asap. Jadi, yaaa, hampir sepanjang perjalanan saya bolak-balik buka-tutup hoodie. Fuuu.

Sesampainya di terminal Leuwi Panjang, saya langsung bergabung dengan para calon penumpang Damri jurusan Ledeng-Leuwi Panjang. Muka mereka, seperti yang selalu saya lihat tiap kali saya menunggu Damri, menampakkan kegusaran. Beberapa supir angkot jurusan Kalapa-Ledeng menawarkan jasa untuk mengantarkan mereka sampai ke tempat tujuan. Tapi, dengan harga yang tiga kali lipat lebih mahal dari harga karcis Damri (ongkos Damri dua ribu rupiah sekali jalan, sementara supir angkot mematok harga tujuh ribu rupiah), tentu saja mereka (dan saya) menolak dengan senang hati. 

Oh, saya sempat bertemu dengan Teh Afi, teteh mentor saya, dan Indah. Tapi mereka meninggalkan saya karena mereka belum sholat Dzuhur.

(maaf) Indonanj-i-ng
Perjuangan sesungguhnya dimulai saat saya sudah berada di dalam Damri. Huwoh, bayangkan, Damri saat itu penuh sesak, kondisinya nggak jauh beda sama kondisi kereta di Jepang saat rush hour. Napas aja susaaah.  Kaki, pinggang saya pada pegel. Dan dua kali saya kena omel sama seorang ibu, gara-gara kaki kiri anak cowoknya kegencet sama saya. Shikatanai, deshou? Bukan saya yang mau ngegencet kaki anak orang. Yang kasian mah nenek-nenek yang pada berdiri sampai kakinya gemeteran, sementara di dekatnya ada pemuda yang duduk nyantai, pandangannya kosong ke depan, dan telinganya disumpal headphone. Sayanya kesel dong yaaa, pengen nawarin tempat duduk sih, tapi sayanya juga berdiri. Nggak bisa apa-apa, deh, selain kirim pesan singkat ke kakak.

Miris. Sing lanang sing kebagian lungguh padha ora duwe duga. Ana mbah-mbah ngadeg ya pada meneng wae. (Miris. Lelaki yang kebagian duduk pada nggak tau perasaan. Ada nenek-nenek berdiri juga diem aja.)

Kakak, tak lama kemudian, langsung mengirimi balasan.
Ngono kuwi wong Indo. Tegel karo wong tua. Nggak salah yen bangsane awake oleh aran 'Indonanj*ng' saka negara tetangga. Polahe asu kan kaya ngono. (Ya begitulah orang Indonesia. Tega sama orang tua. Nggak salah kalo bangsa kita dapet sebutan 'Indonanj*ng' dari negara tetangga. Tingkahnya anjing 'kan kayak gitu.)

Hoh, kata itu akhirnya keluar dari kakak. Kata yang paling dibenci sama ayah. Saya jadi kepikiran, apa bener itu salah satu alasan kenapa banyak warga Indonesia mendapat cap seperti itu oleh bangsa Malaysia?

Oh iya, nenek itu pada akhirnya juga tetap berdiri, lho, sampai beliau tiba di pemberhentian yang dituju. Dan apa yang dilakukan pemuda itu? Tetap diem. Sama sekali nggak kepikiran buat berbagi tempat duduk.  Kalau manusia boleh saya pites kayak mitesin kutu, pasti orang itu udah saya pites. Astaghfirullah...



Comments

  1. Hmm, begitulah keadaannya negeri ini. maslah yg klasik. Pasti ada jalan. Kita mulai dulu dari diri sendiri.

    ReplyDelete

Post a Comment