Skip to main content

[Oneshot] I'm Not Your Cinderella/ Family, Parody/PG+13

Title : I’m Not The Cinderella
Author : JHayama
Length : Oneshot
Genre : Family, Parody
Rating : PG+13
POV : Author
Beta reader : Atikah Rahma Wulandari
Cast :
  • Lui Cadence as Cinderella
  • Patricia Cadence (dulunya Tartaglia) and Amelia ‘Amy’ Cadence (dulunya Tartaglia) as Lui’s stepsisters
  • Julianne Cadence (dulunya Tartaglia) as Mom
  • Prince Wilhelm
  • Mr. Cadence
Disclaimer: All characters in this story are belong to me.

Inspirational thing: Ini adalah Cinderella versi parodi super gaje. Oh, ngomong-ngomong, pernah baca manga “Ludwig Kakumei” karya Kaori Yuki-sensei? Nama ‘Lui’ dan ‘Wilhelm’ diambil dari manga tersebut. Selebihnya murni dari hasil pemikiranku sendiri.

Warning: Cerita ini bener-bener lack of romantic’s feels. Plus, hati-hati sama yang namanya keGARINGan. Karena saat pengerjaannya, author sedang tertular Onew Sangtae alias Onew’s Condition.

* * *

Long, long time ago, ada sebuah keluarga kecil yang selalu menjalani kehidupannya dengan bahagia, walaupun tanpa seorang ibu di dalamnya. Ya, keluarga itu hanya terdiri dari seorang ayah dan anaknya yang cantik. Suatu hari, saat ayah beranak itu sedang duduk santai sambil menatap indahnya pekarangan rumah, sang ayah mengutarakan keinginannya yang sudah dipendamnya sejak lama pada sang anak.
“Lui, apa kau merasa bahagia menjalani hidup hanya berdua dengan ayah?” tanya sang ayah lembut. Yang ditanya malah balik bertanya dengan nada heran.
“Apa maksud ayah?”
I mean, apa kamu tidak merindukan sosok ibu?”
“Tentu saja. Tapi asal ada ayah, rasanya itu sudah cukup. Atau jangan-jangan, ayah yang merindukan sosok seorang istri?” si anak balik bertanya. Sang ayah tertawa senang, ternyata anaknya mengetahui isi pikirannya.
“Kau memang anakku,” ujarnya sambil mengacak pelan rambut anaknya. Si anak cuma nyengir.
Of course I know. Tapi karena ayah tidak pernah membahas masalah ini sebelumnya, aku pikir ayah tidak pernah berhasrat untuk menikah lagi.”
“Jadi intinya, ayah boleh menikah lagi?”
“Tentu saja, asalkan ayah mau berjanji tidak akan membawa pulang ibu baru yang tidak pintar memasak. Karena aku ingin merasakan masakan yang dibuat orang lain selain masakan ayah.” Sang ayah terkekeh.
“Baiklah, baiklah..”

* * *

Begitulah. Dua bulan berikutnya, Lui resmi memiliki seorang ibu baru, dan dua stepsisters. Ibu dan stepsistersnya ini berasal dari sebuah daerah di Italia, yang Lui tak tahu dimana tepatnya. Sepertinya mereka, ayah dan stepmomnya, bertemu saat ayahnya sedang bertugas di Italia.
Suatu pagi...
Keluarga bahagia itu sedang bersiap makan pagi bersama. Layaknya pemandangan sebuah keluarga utuh yang normal, sang ayah sudah berada di meja makan, sedang duduk manis di kursinya, sambil membaca agenda dan catatan kerjanya. Sang ibu masih sibuk di dapur, dibantu oleh kedua puterinya, Patricia dan Amelia.
Lho? Dimana Lui?
Ternyata, alih-alih membantu menyiapkan makan pagi, pagi ini Lui terlihat sedang mengobrol dengan kura-kura peliharaannya. Ah, ralat. Yang benar, Lui sedang mencoba mengajak kura-kuranya ngobrol.
“Hei, Kame-nyan, apa kabarmu pagi ini?” Lui mendapatkan Kame-nyan dari sang ayah saat ayahnya sedang bertugas di Jepang. Dan secara harfiah, ‘Kame’ dalam bahasa Jepang artinya memang ‘kura-kura’.
“Hei, Kame-nyan, answer me!” yang diajak ngobrol masih terdiam seribu bahasa, hanya mengedikkan matanya. Lui mendengus.
“Cih, padahal aku berharap kau bisa mengobati rasa bosanku. Tapi kau malah membuatku tambah bosan saja,” gumam Lui, menggerutu. Tak lama, terdengar suara derapan kaki yang mengarah mendekati Lui. Lui hanya memasang telinga, bertanya dalam hati siapa yang akan mengganggunya di pagi ini.
“Kakak, makanan sudah siap. Ibu dan ayah sudah menunggumu dari tadi,” ternyata suara derapan kaki itu berasal dari adik tirinya yang termuda, Amelia. Lui bangun dari posisi duduknya dengan ogah-ogahan. Ia mendekati Amelia yang masih asyik mengunyah sesuatu.
“Bagaimana kau bisa tahu aku berada di sini?”

* * *

Keesokan paginya...
Keluarga Cadence menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Sang ayah sudah berada di meja makan, sedang duduk manis di kursinya, sambil membaca agenda dan catatan kerjanya. Sang ibu masih sibuk di dapur, dibantu oleh kedua puterinya, Patricia dan Amelia.
Lho? Dimana Lui?
Seperti biasa, Lui masih di ‘istana pribadinya’, sebuah ruangan rahasia berukuran 4x6 meter yang dipenuhi barang-barang rahasia milik Lui, plus kura-kura peliharaan Lui, Kame-nyan. Namun hari ini, ruangan rahasia itu disesaki aura aneh milik Lui. Semacam aura kesedihan, yang tercampur dengan aura kebahagiaan yang teramat sangat.
“Hei, Kame-nyan. Ayah akan pergi bertugas ke luar negeri lagi hari ini. Apa menurutmu ini bagus?” yang diajak ngobrol, seperti biasa, hanya membisu.
Tak lama, terdengar suara derapan kaki yang mengarah mendekati Lui. Lui hanya memasang telinga, sepertinya sudah tahu siapa yang akan datang.
“Kakak, makanan sudah siap. Ibu dan ayah sudah menunggumu dari tadi,” ternyata suara derapan kaki itu berasal dari adik tirinya yang termuda, Amelia. Lui bangun dari posisi duduknya dengan ogah-ogahan. Ia mendekati Amelia yang masih asyik mengunyah sesuatu.
“Katakan padaku, kenapa kau bisa tahu kalau aku berada di sini?” tanya Lui penasaran. Amelia nyengir tanpa memberi penjelasan, dan semakin membuat Lui tambah penasaran.

* * *

Setelah selesai makan, keluarga Cadence mengantar kepergian sang kepala keluarga. Patricia menangis dalam diam, tapi air matanya sudah membasahi dua saputangan sutra miliknya. Nyonya Julianne berusaha bersikap tegar. Amelia dan Lui sama sekali tidak terlihat sedih. Amelia memasang senyum sambil mengunyah permen karet, sementara Lui berusaha memasang senyum damai yang selama ini selalu ia berikan ketika melepas sang ayah yang hendak bertugas.
“Ayah pasti akan kembali, jadi jangan menangis seperti itu, ya?” ujarnya saat memeluk Patricia. Akhirnya terdengar suara ‘hiks hiks’ pelan milik Patricia. Ia lalu menghentikan tangisnya. Sang ayah lalu berjalan ke arah nyonya Julianne, membisikkan sesuatu, lalu mengecup dahinya. Kemudian tersenyum ke arah Amelia, yang dibalas senyum. Terakhir, sang ayah menghampiri Lui.
“Bantu ibumu menjaga Patricia dan Amelia selama ayah tidak ada, ya.”

* * *

Hari-hari setelahnya, terasa berat dijalani oleh ketiga wanita Cadence. Sang ibu lebih sering terlihat duduk muram sambil merajut di kala senggangnya. Patricia yang selalu terlihat takut-takut menjadi obyek penghilang kebosanan Lui. Amelia yang selalu tampak asyik dengan dunianya, harus selalu membantu Patricia agar menjauh dari Lui, walau usahanya hampir selalu berbuah kegagalan.
Saat kakak beradik itu sedang asyik berkumpul di ruang keluarga, tiba-tiba terdengar suara dentingan lonceng. Lui menghentikan aksi bully-nya terhadap Patricia. Patricia bergerak menjauhi Lui. Amelia menghentikan kunyahannya. Mereka penasaran siapa yang tengah berada di luar sana. Apakah ayah sudah pulang?
Mereka masih terdiam dalam posisi masing-masing saat bunyi dentingan lonceng terdengar untuk yang kedua kalinya. Lui langsung mendelik ke arah Patricia, bersiap untuk ‘menyiksa’ adiknya lagi.
“Sana, lihat siapa yang datang.” perintah Lui. Patricia hanya menatap ke arah Lui dengan takut-takut.
“Kalau kau tidak mau menuruti perintahku, aku bersumpah aku tidak akan pernah berhenti menyiksamu.” lanjut Lui, enteng. Patricia coba mencari bantuan dari adiknya, tapi sang adik sudah tidak ada di ruangan yang sama. Akhirnya ia bergerak menuju pintu.
“S-s-s—siapa?” tanya Patricia ketika ia melihat siapa tamunya.
“Kami dari kerajaan, datang untuk memberikan ini,” kata si tamu, sambil mengulurkan sebuah undangan yang digulung dengan pita merah marun.
“Ini adalah sebuah pesta dansa yang diadakan khusus untuk pangeran. Pastikan semua saudarimu, dan kau juga, untuk hadir.” lanjutnya, lalu mohon pamit pada Patricia. Setelah utusan kerajaan itu pergi, Patricia segera mentup pintu.
“Siapa?” tanya Lui penuh selidik.
“A—anu, utusan k-kerajaan. Ia memberikan ini...” Patricia menyerahkan undangan itu pada Lui tanpa menatap Lui. Bukan bersikap tak sopan, tapi Patricia tak berani mengangkat kepalanya. Amelia menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar.
“Undangan dari kerajaan?” tanya Amelia, tak percaya.
“I—iya. P-pesta dansa,” jawab Patricia.
Mata Amelia membulat. Ia langsung mencari nyonya Julianne. Patricia hanya berdiri di samping Lui. Lui yang sedari tadi asyik membaca isi undangan, menyadari bahwa Patricia masih ada di dekatnya. Niat usilnya muncul.
“Kau,” ucap Lui dengan suara agak keras, mengagetkan Patricia.
“Ikut aku.”

* * *

Lui membawa Patricia ke sebuah ruangan. Patricia yang bingung hendak dibawa kemana oleh saudaranya ini, tak berani bertanya. Ia hanya pasrah tangannya ditarik, atau lebih tepatnya ia sedang diseret, oleh Lui ke sebuah ruangan yang tak pernah ia jumpai selama ia tinggal sebagai anggota keluarga Cadence.
“Masuklah,” Lui melepaskan cengkeramannya. Patricia menatap ruangan itu dengan takjub.
“K—kakak, apa semua b-barang ini milikmu?” tanyanya, masih tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya.
“Tentu saja.” ujar Lui, bangga. Ia lalu mengambil sebuah bungkusan berbentuk balok dari kardus berukuran cukup besar yang berada tak jauh darinya. Ia menyerahkan bungkusan itu pada Patricia.
“A—apa ini?”
“Buka saja.” Perintah Lui. Patricia menurut. Ia lalu kembali takjub saat melihat isi bungkusan itu.
“K—kakak, ini C-CANTIK SEKALI!!” Patricia mengeluarkan barang-barang dari dalam bungkusan. Terlihatlah sebuah gaun berwarna kuning gading, berikut dengan segala macam perhiasannya. Lui kembali tersenyum, membanggakan dirinya sendiri.
“Pakai itu di pesta dansa nanti malam,” kata Lui, seolah menjawab permintaan Patricia yang sedang menatapnya dengan mata berbinar-binar.
“T-t—terima kasih kak,”
“Tidak perlu berterima kasih. Aku senang gaun buatanku dipuji,” kalimat ini membuat Patricia mendelik tak percaya, namun Lui tak menggubrisnya. Ia berjalan keliling kamar, lalu membawa dua bungkusan yang sama besarnya. Ia menyerahkan bungkusan itu pada Patricia.
“Bawa ini untukku.” Patricia hanya mengangguk, masih terlalu senang atas ‘kebaikan’ kakaknya.
Sebelum meninggalkan ruangan, ia mendekat ke akuarium. Berucap pelan pada kura-kuranya, “Daagh, Kame-nyan.”

* * *

Lui dan Patricia meninggalkan ruangan itu dan berjalan kembali menuju ruang keluarga. Ternyata Amelia dan nyonya Julianne juga berada di ruangan keluarga.
“Bagaimana, mom? Aku juga boleh ikut ke pesta itu, kan?” tanya Amelia penuh harap.
“T-tapi nak, kenapa kita harus d-datang ke pesta seperti itu? K-kita belum pernah menghadiri pesta besar sebelumnya, pun k-kita tidak punya p-pakaian yang pantas untuk menghadiri pesta seperti itu,”
“Kalian bisa menggunakan ini,” ucap Lui, mengagetkan Ibu beranak itu. Patricia muncul dari belakang Lui, menyerahkan bungkusan-bungkusan yang ia bawa dari ruang rahasia milik Lui. Ia lalu membawa bungkusan itu ke hadapan ibu dan adiknya.
“Buka saja, dan lihat isinya.”
Ibu dan kedua adiknya duduk mengelilingi bungkusan itu. Dengan tatapan mengiyakan, Patricia mengangguk mengamini pernyataan Lui. Akhirnya nyonya Julianne membuka semua bungkusan. Dan mereka, ibu dan adiknya, sama-sama takjub.
“Kak, semua ini milikmu?” tanya Amelia. Ia menatap Lui dengan tatapan ‘kenapa-kau-bisa-punya-barang-seperti-ini?’
“Hei, kenapa kau menatapku seperti itu? Kau boleh saja tak percaya, tapi yeah, itu semua milikku.” protes Lui.
“Oh, oke...” Amelia mengganti tatapannya menjadi ‘aku-masih-tak-percaya-ini-milikmu-tapi-aku-tak-peduli’.
Lui tampak risih dengan tatapan Amelia. Atau mungkin yang benar, Lui selalu merasa risih kalau ada Amelia. Sebab Lui selalu merasa Amelia itu sedikit berbeda dari kakaknya, Patricia. Sebagai seorang Tartaglia, ia tak pernah mengalami kesulitan bicara. Namun yang terpenting adalah, ia selalu membuat Lui penasaran bagaimana ia bisa menemukan ruang rahasia milik Lui, yang bahkan ayahnya saja tidak pernah tahu kalau rumahnya memiliki ruang rahasia.
Lui dan Amelia seperti dalam kontes menatap, tanpa mereka sadari. Mereka berdua menyimpan sejuta pertanyaan di otaknya ketika mereka saling bertatapan lama seperti itu. Nyonya Julianne dan Patricia saling bertatapan, heran akan apa yang tengah terjadi pada Lui dan Amelia. Lalu mereka berdua akhirnya hanya saling mengedikkan bahu karena tak tahu apa jawaban atas pertanyaan mereka.
“Ehm, Lui...” nyonya Julianne membuka suara. Lui kembali ke alam sadarnya.
“Ya, mom?”
“A-apa semua ini, h-harus kita p-pakai untuk p-pesta dansa malam ini?”
Of course. Kalau tidak, untuk apa aku membawa semua ini?”
“Lalu bagaimana denganmu? Apa kau akan ikut pergi?” kali ini Amelia yang buka suara. Tawa Lui pecah berderai.
“Tentu saja tidak. Memangnya menurutmu aku harus datang?”
Well, yeah, kurasa sih tidak. Akan lebih baik bila kau diam saja di rumah.”

* * *

Malam hari, sebelum berangkat ke pesta dansa...
“Patriciaaaaa—!!” terdengar teriakan Lui dari kamar. Dengan menggunakan gaun pemberian Lui tadi siang, gadis kurus berambut merah panjang itu memasuki kamar kakaknya.
“A—ada apa memanggilku?” Patricia berbicara dengan tersengal-sengal. Lui hanya menatap adiknya, from head to toe.
Oh my God, kenapa kau ini? Kau sama sekali tak menyempurnakan keindahan dari gaun buatanku. Sini!” sebelum Patricia memberikan perlawanan, Lui sudah menyeret adiknya, membawanya ke meja rias. Lui segera membubuhi bedak di wajah adiknya. Lalu perona pipi. Lalu memulaskan pemerah bibir. Lalu mendandani rambut merah panjang Patricia. Mengikat, menggelungnya kesana-kemari. Kadang Lui mengikat rambut panjang Patricia dengan satu sentakan keras di akhir. Saat itu Patricia mengaduh kesakitan, namun saat itu pula Lui mengacuhkan aduhannya. Bagaimanapun, Patricia tidak banyak berontak. Sepertinya ia sudah biasa dan sudah pasrah mengalami ‘siksaan’ seperti ini. Didandani seperti boneka.
Setelah ‘penyiksaan’ itu berakhir, Lui menyuruh Patricia membuka mata. Dan memang, setiap ‘penyiksaan’ yang dilakukannya selalu berakhir dengan hasil yang indah. Patricia terlihat jauh lebih cantik dari sebelumnya.
See, sekarang kau sudah siap merebut hati pangeran,” ujar Lui. Tersirat nada puas dalam setiap kata yang diucapkannya. Si model hanya tersenyum sambil sesekali memegangi kepalanya yang cenat-cenut.
“T-tapi kak, rasanya nyeri sekali. D-disini,” tunjuk Patricia di pelipisnya. Lui, seperti biasa, tak terlalu menanggapi keluhan ‘korban’nya.
“Aku heran, k-kenapa k-kau selalu menyiksaku. K-kenapa Amelia t-tidak pernah mengalami h-hal yang s-sama s-sepertiku,” lanjutnya. Lui melotot ketika mendengar nama ‘Amelia’ disebut. Tapi detik berikutnya Lui memilih bersikap acuh seperti biasa.
“Jangan manja! Diperlukan sedikit pengorbanan untuk memperoleh kecantikan. Apa itu istilahnya, no pain no gain? Yeah, seperti itulah. Dan kenapa Amelia tidak perlu merasakan siksaanku, itu karena ia sudah mendapat kecantikannya. Aku tak perlu menambahi apapun dalam kecantikannya.” cerocos Lui dalam satu tarikan nafas.
Tidak seperti kakaknya, Amelia memang cantik. Dan ia memiliki kecantikan seksual, bila kalian ingin aku memperjelasnya. Bibirnya yang ranum, dadanya yang berisi, tubuhnya yang sintal... siapapun yang bertemu dengannya pasti akan jatuh cinta. Ia juga cerdas dan selalu energik. Tapi bukan itu alasan utama mengapa Lui enggan menjadikan Amelia menjadi ‘korban penyiksaan’nya. Alasan yang sebenarnya adalah... Lui takut Amelia akan membongkar rahasia terbesar Lui: tentang kamar rahasia, dan semua barang yang ada di dalamnya. Semua rahasia yang sejak lama ditutupi oleh Lui.
“P-patricia, k-kita h-harus segera b-berangkat...” teriak nyonya Julianne dari ruang keluarga. Lui sekali lagi mengagumi hasil kerjanya, lalu menuju ruang keluarga bersama Patricia. Disana kedua wanita itu sudah menunggu kehadiran Patricia.
Saat kedua orang itu tengah memasuki ruangan, Amelia membelalakkan matanya, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Kakaknya. Patricia, yang sehari-hari tampak sepucat mayat, disulap Lui menjadi seorang putri yang bercahaya dan penuh pesona.
“Uwaah, kak, kau terlihat begitu cantik..” pujian langsung meluncur dari bibir Amelia. Yang dipuji hanya tersenyum malu.
“Oke, kalian berdua sudah layak menghadiri pesta dansa. Kau,” Lui menunjuk Patricia dengan jarinya yang lentik, “Ingat, malam ini kau harus buang sifat pemalu itu. Kau,” kali ini ia menunjuk Amelia, “Jangan permalukan dirimu dengan makan terlalu lahap.” Amelia cemberut.
“Tapi itu ide yang bodoh sekali. Hidangan di pesta pasti jauh lebih lezat dan menggoda daripada menu makanan kita sehari-hari,” protesnya. Lui mendelik.
Mom, tolong jaga mereka. Jangan sampai tingkah mereka membuat kans perebutan hati pangeran menjadi kacau,” perintah Lui kepada sang ibu tiri. Bagai bos besar saja gaya bicaranya itu. Namun sang ibu hanya mengangguk. Dan merekapun meninggalkan rumah, menuju istana.

* * *

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Dua jam lagi menjelang pergantian hari, dan ibu beranak itu belum juga pulang. Lui gelisah. Ia memang selalu tak bisa tidur bila ia sendirian saja di rumah. Dulu saat ia masih berdua saja dengan sang ayah, ia selalu menangis bila sang ayah tak menemaninya hingga ia terlelap. Kalaupun sang ayah harus pergi bertugas, biasanya selalu ada ibu tetangga sebelah yang akan menemaninya. Namun kini tetangga sebelah itu sudah berpindah ke negara tetangga, sehingga malam ini Lui benar-benar sendirian di rumah.
Karena tak bisa tidur, Lui hanya mondar-mandir di dalam rumah. Dalam hati ia menyesal tidak berkata pada sang ibu agar mereka tidak pulang larut malam. Memutuskan untuk pergi ke pesta dansa, Lui pun segera menyiapkan diri. Ke pesta dansa dengan baju rumah? Tentu saja tidak. Lui berpikir keras, lalu mengambil gaun berwarna baby pink. Tak lupa ia menyematkan sebuah korsase berukuran sedang di dadanya, lalu menyampirkan selendang berwarna senada ke bahunya. Tak mau mengulur waktu, ia hanya memulaskan pemerah bibir tipis-tipis, dan membiarkan rambut cokelat panjangnya tergerai.

* * *

Malam ini ballroom istana disesaki oleh perempuan cantik, entah berapa jumlahnya. Dari balkon, seorang pria bertubuh tinggi tegap dengan rambut blonde ikalnya hanya menatap lautan perempuan bergaun itu dengan menelan ludah.
“Ivan, apa aku memang harus melakukan ini? Turun ke bawah, berdansa dengan mereka, lalu memutuskan siapa yang akan menjadi pendampingku?” tanya pria tersebut pada pria di sampingnya, yang sepertinya adalah pengawal pribadinya.
“Tentu saja, pangeran. Memangnya anda mau terus-menerus dicurigai oleh Ratu sebagai, apa itu namanya, ‘gay’?” Pria yang dipanggil pangeran hanya menggeleng lemah.
“Baiklah, demi nama baikku, aku akan turun ke ballroom,” ucap pangeran dengan mantap. Ivan mengangguk senang, lalu berjalan di belakang pangeran.
Ruangan dipenuhi gumaman ber-“wow” ria saat pangeran Wilhelm dan Ivan memasuki ruangan. Beberapa tersipu sambil berharap pangeran, atau setidaknya sang pengawal pribadi yang tak kalah tampan itu, melirik mereka dan mengajaknya berdansa. Yang lain hanya saling melontarkan komentar tentang betapa mempesonanya sang pangeran malam ini. Beberapa gadis bahkan berani menggelendot manja, memohon dengan tatapan menggoda agar pangeran mau berdansa dengan mereka.
Ketika posisi pangeran tak jauh dari keluarga Cadence, nyonya Julianne, yang ingat akan pesan Lui, segera mendorong Patricia agar mengambil kesempatan berdansa dengan pangeran. Namun bukan Patricia namanya, kalau ia berani mengambil kesempatan itu. Ia hanya mengkerut, membeku dalam gaun cantiknya. Sang ibu pasrah, lalu melirik putrinya yang paling kecil. Namun ternyata Amelia benar-benar tidak mau melepaskan kesempatan. Ia mencomot setiap potong kue, coklat, dan memasukkan sebanyak mungkin hidangan ke dalam mulutnya. Dari raut mukanya, nampak sudah kalau nyonya Julianne stress gara-gara kelakuan kedua putrinya.
Sementara itu, Lui dan kereta kuda pinjamannya sudah hampir mendekati istana. Dalam hati ia berharap agar salah seorang dari adiknya dapat merebut hati pangeran. Ia sedang mengkhayal tingkat tinggi ketika sais berkata bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan.
Tak ingin terlihat kacau, Lui merapikan rambut dan selendangnya yang sedikit kusut. Setelah yakin bahwa semua terlihat sempurna, ia melangkah memasuki istana.
Di lain tempat, rupanya sang pangeran yang tampan ini sama sekali belum menemukan pilihan hatinya.
“Apa menurutmu malam ini Cinderella-ku akan datang?” tanyanya penuh harap pada sang pengawal. Ivan, yang sudah hapal betul tingkah pangeran yang menggilai dongeng, hanya memberi senyum, seolah mengiyakan.
“Kupikir begitu. Dalam dongeng yang pangeran baca, sang Cinderella akan muncul di suasana seperti ini, bukan?” sang pangeran mengangguk.
Sang pangeran yang sibuk menolak ajakan dansa dari para gadis, teralihkan perhatiannya pada seseorang yang baru memasuki ballroom. Ia kini terpaku menatap sosok cantik itu.
My Cinderella...” desisnya. Ia lalu menghampiri sosok cantik yang memikat hatinya itu.
Berlutut dan mengulurkan tangan kanannya, pangeran siap mengajak sang pujaan hati untuk berdansa.
“Aku sudah lama menunggu kedatanganmu, Cinderella-ku,” ucap pangeran dengan tatapan penuh kasih. “Maukah kau berdansa denganku?” ajaknya. Lui membelalakkan matanya. Kaget. Tapi ia tak mungkin menolak ajakan pangeran, atau tatapan membunuh yang dilancarkan para gadis akan benar-benar membunuhnya. Lui mengumpat pelan, lalu mengulurkan tangannya, menyambut ajakan dansa sang pangeran.
Selama berdansa, ekor mata Lui berkeliaran mencari keberadaan ibu dan adiknya. Ia terus bertanya dalam hati, apa kedua adiknya berhasil memikat sang pangeran. Pangeran, yang menangkap wajah gelisah Lui, langsung membenamkan muka Lui ke dadanya. Kini pangeran bahkan memeluk Lui dengan penuh cinta. Walau kesal, tapi sepertinya Lui tak bisa melawan. Dan tanpa ia ketahui, Amelia sedang menatapnya dari kejauhan.

TENG... TENG...
Lonceng raksasa milik kerajaan menggoyangkan dirinya. Lui spontan mendongakkan kepalanya guna mencari tahu jam berapa sekarang. Ternyata sudah jam dua belas malam. Ia mencoba melepaskan pelukan pangeran, lalu berlari ke luar istana. Aku harus segera pergi. Bagaimana kalau ibu, Amelia, dan Patricia ternyata sudah pulang duluan? Bisa-bisa aku ketahuan berbohong, gumam Lui dalam hati.
Cinderella! Cinderella!” pangeran berlari mengejar Lui. Ia tak mau kehilangan Cinderella-nya. Namun Lui tak mengindahkan panggilan pangeran. Ia terus saja berlari. Bahkan ia tak memerdulikan rambutnya yang berterbangan diterpa angin malam.
BRUK! Lui terjatuh. Sepatu bagian kirinya terlepas. Ia mengumpat, namun segera melanjutkan larinya. Lui ingin segera sampai ke rumah. Persetan dengan sepatu, aku akan membuat sepatu baru yang lebih cantik lagi, pikirnya.
Pangeran berteriak, berlari kesana-kemari, namun tetap tak menemukan keberadaan sang Cinderella. Tiba-tiba ia melihat sebuah sepatu tergeletak begitu saja di tanah. Ia mengambilnya, menatapnya lekat-lekat, lalu teringat sesuatu.
“Sepatu ini... Cinderella...” desisnya.
“Sepatu ini akan membawaku kepada gadis cantik tadi. Tapi, aaaargh, bodoh! Andai saja tadi aku sempat menanyakan nama dan tempat tinggalnya...”

* * *

Keesokan paginya, di kediaman keluarga Cadence...
“Hoaaahmmm...” Lui menguap bak singa. Ia menelan sebuah painkiller untuk membunuh rasa nyeri di kepalanya, lalu memukul pundaknya pelan.
“Rupanya Cinderella sudah bangun,” sebuah suara mengejutkan Lui. Ia menoleh ke sumber suara. Amelia.
“A—apa maksudmu, Amelia?” ujar Lui, gelagapan. Lagi-lagi Amelia mengetahui rahasianya.
“Ah, sudahlah. Lebih baik kau segera bangun dan pergi ke ruang tengah. Pangeranmu menunggu.” Amelia sengaja memberi penekanan saat mengucapkan ‘pangeranmu’, tertawa kecil, lalu meninggalkan Lui yang masih melongo.
Di ruang tengah...
Pangeran desperate, tak kunjung menemukan siapa sebenarnya pemilik sepatu yang tadi malam terjatuh di halaman istana. Nyonya Julianne juga terlihat sama desperate-nya. Semua gadis di rumahnya sudah diminta untuk memakai sepatu yang dibawa pangeran, namun tak seorangpun yang memiliki ukuran telapak kaki yang pas dengan sepatu itu.
DRAP. DRAP. DRAP.
Terdengar suara derapan langkah yang tergesa-gesa. Tak lama kemudian, muncul seseorang berambut panjang tergerai berwarna coklat. Ia... kembali menarik perhatian sang pangeran, seperti yang dilakukannya di pesta dansa.
“My Cinderella...” desisnya. Sang pangeran mengerjapkan matanya, seolah tak percaya akan apa yang tengah dilihatnya. Sementara si pengawal berusaha menyadarkan sang pangeran yang sedang terpesona.
“Ivan, Ivan. Dia, my Cinderella—“ racau pangeran sambil menunjuk-nunjuk ke arah Lui. Si pengawal paham, lalu meminta Lui untuk mendekat. Ia lalu menunjukkan sebuah sepatu pada Lui.
“Nona, kami kemari untuk mencari tahu pemilik sebenarnya dari sepatu ini. Sudikah anda mencobanya?” kata ‘nona’ sontak membuat seluruh penghuni kediaman Cadence kaget bukan main, tak terkecuali Lui. Merasa tak punya pilihan lain, dengan enggan Lui mencoba memasukkan kakinya ke sepatu yang sebenarnya memang miliknya.
Oh My God...” ucap pangeran, takjub. Sepertinya ia benar-benar sudah menemukan Cinderella-nya. Ia langsung memeluk Lui tanpa memerhatikan ekspresi semua orang yang berada di ruangan itu. Namun tanpa diduga, Lui melepaskan diri dari pelukan pria yang digilai semua gadis itu.
“Kenapa?” tanya pangeran dengan ekspresi ‘apa-aku-tak-pantas-untukmu’. Lui duduk di kursi goyang yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri barusan. Lui berdehem.
“Biar kujelaskan,” ucapnya. Ia mengikat rambutnya, lalu membuka dua kancing bajunya yang paling atas sehingga terlihatlah dada Lui yang bidang. Pangeran membelalak kaget.
See? Aku memang cantik, kuakui itu. But I’m not your Cinderella.” Lui nyengir, lalu meninggalkan ruangan.
Dan sang pangeran langsung pingsan di tempat.

THE E.N.D

Comments